Wednesday, March 9

SEKALI SAJA, IBU, AKU INGIN MEMBASUH KAKIMU (Sebuah Cerpen)

Oleh:Sanghyang Mughni Pancaniti

Malam ini, di gubuk yang sudah hampir punah ditelan usia, aku terduduk di samping ibuku. Bersama istriku, bersama anak sulungku yang baru saja menikah.


Kepada mereka ingin kuberitahukan sesuatu; perempuan ini, yang wajahnya telah luruh dimakan keriput ini, adalah ibuku. Puluhan tahun aku sembunyikan ibu dari mereka. Aku bilang ibuku sudah mati. Entah dimana kuburannya.

Puluhan tahun aku merasa cadu, memperkenalkan ibu yang miskin kepada istri dan anakku.

Aku malu memperkenalkan ibu yang setiap hari memakai kebaya lusuh.

Aku malas memperkenalkan ibu yang tidak becus berbahasa Indonesia.

Aku gengsi memperkenalkan ibu yang kulitnya kering kepanasan di sawah.

Aku tak ingin memperkenalkan ibu yang kakinya pecah-pecah. Aku tak sudi memperkenalkan ibu yang suka berbongkok-bongkok jika berhadapan dengan tetangganya.

Aku tak rela memperkenalkan ibu yang kampungan. Yang tak punya hasrat berprilaku seperti orang kota. Apalagi, dia masih menyimpan uang dibalik kutangnya.

Dari semenjak muda, banyak sekali keputusanku yang tak direstui ibu. Banyak sekali hal sepele yang menyulut ketegangan di antara kami.
Bukan bertengkar, entah apa namanya. Tapi seperti ini, jika ketegangan terjadi; aku berteriak, ibu terdiam.

Aku memekik, ibu bergeming.
Aku lontarkah marah, ibu lelehkan air mata.

Aku memaki, ibu memilih sunyi. Dia seolah meyakini, hanya kebisuan yang dengan telak menghancurkan murka.

Karena tak tahan dengan banyak perbedaan di antara kami, aku memutuskan untuk meninggalkan ibu sendirian di kampung, di desa Ciawi Tasikmalaya. Aku berangkat ke Bandung. Aku kuliah, berpacaran, menjadi sarjana, menikah, punya anak, mendapatkan gelar Profesor dalam bidang Keislaman, tanpa sepengetahuan ibu.

Hari ini, malam ini, setelah 27 tahun tak menemuinya, ibu telah sakit, rapuh, dan runtuh. Di atas kasurnya ia hanya tersenyum melihat kedatanganku, menatapku yang memijiti tangannya.

“Kamu sehat, Gunawan?” Suara paraunya memusnahkan keangkuhan-ku. Ia masih bisa ter-senyum mengucapkan kalimat itu, seolah tidak memperdulikan betapa durhakanya aku.

“Saya sehat, Mak.” Tak bisa kutahan air mataku yang telah lama ingin tumpah.

“Makan dulu, Wan, di dapur ada ikan asin dan sambal goreng kesukaanmu.” Kalimat ini tambah meluluhlantakan hatiku.

Bagaimana bisa dia masih mampu memperhatikanku yang puluhan tahun telah culas kepadanya. Bagaimana mungkin dia tetap saja tegak sebagai ibu, dan aku sebagai anaknya yang masih kecil.

“Iya, nanti saya makan, Mak.”

Aku menjawab dengan nada yang tak berdaya.

“Kerupuknya kamu beli sendiri.” Kata ibu lemah.

Aku mengangguk. “Maafkan saya, Mak,”

Hatiku begitu bergetar mengatakan ini.

“Tanpa kamu minta, maaf Emak sudah kamu terima..” Kata ibu pelan..

Aku mendekati pipinya. Tubuhku terguncang, menahan tangis, tapi meledak.! Sambil memeluk, aku menangis sejadi-jadinya, di hadapan istri dan anakku yang juga meletupkan air mata. Berbagai ilmu untuk memahami Tuhan, seketika habis dalam batok kepalaku. Kali ini, melihat wajah keriput ibu, kutemukan Dia bersemayam disana.

“Saya seperti baru tersadar, kalau Surga ada di telapak kakimu, Mak.” Bisikku di telinga ibu.

Ibu mengusap kepalaku yang memeluknya, berkata dengan suara yang tetap lemah, “Surga memang Allah simpan di telapak kaki Emak, Wan, tapi itu tidak pernah Emak jadikan sebagai kebanggaan dan rasa berkuasa atas hidupmu. Melainkan Emak menjelmakannya menjadi kasih sayang tak terhingga, dan mengolahnya menjadi kelapangan hati serta persediaan maaf yang seolah tak terbatas.”

Aku berdiri ditemani tangisan yang tak henti. Aku bergegas menuju dapur. Mengambil baskom dan mengisinya dengan air yang ada di gentong.

“Saya ingin membasuh kaki Emak. Sekali saja.” Kataku di sisinya. Memohon izin. Ibu tak menjawab.
Kugerak-gerakkan tubuhnya, “Izinkan saya membasuh kaki Emak.”

Sudah tak ada degup.

Sudah tak ada gerak.

Ibu tiada..

Bandung. 2015


0 komentar

Post a Comment