Friday, September 9

KH. Wahid Hasyim dan Rekrutmen Kader NU di Atas Kereta Api

Stasiun Mojokerto, pertengahan 1943, Kiai Wahid Hasyim memasuki kereta api. Dia tepat waktu. Tak meleset barang semenit-pun sesuai jadwal keberangkatan. Tapi kereta api yang mau bertolak ke Surabaya itulah yang masih betah berada di jalurnya. Masinis tampak ogah-ogahan.

Jumlah penumpang yang terus berdesakan rupanya tak membuat kereta api segera berangkat. Di zaman Jepang, di tengah keterbatasan alat trasportasi, naik kereta api merupakan kemewahan.


Di gerbong itu Kiai Wahid duduk bersama penumpang lain. Beliau tampak memikirkan sesuatu hingga seorang pemuda keturunan Arab menyapanya sekadar berbasa basi. Ali bin Faradj Martak, nama pemuda itu, beberapa menit kemudian terlibat obrolan hangat dengan Kiai Wahid. Retorika, gerak tubuh, tatapan mata, disertai bahan obrolan yang berwarna warni yang terus meluncur dari Kiai Wahid membuat pemuda asal Surabaya itu terpesona.

Posisi duduk Ali yang berhadapan dengan Kiai Wahid membuatnya leluasa mendengarkan semburan informasi dan luberan ilmu dari kiai muda yang sedang bolak-balik Jombang-Surabaya ini.

Kereta api yang nyaris bobrok mulai berangkat. Diskusi dua pria itu semakin menarik. Para penumpang lain, yang sebelumnya terlibat obrolan pribadi, mulai terdiam. Mereka tampak memasang telinga mendengarkan obrolan dua orang yang terpelajar itu. Ada yang lesehan, ada yang berdiri, ada juga yang tetap duduk di kursinya.

Kiai Wahid dengan hati-hati menyampai-kan keberatannya soal kewajiban seikerei, upacara menghadap matahari seperti orang rukuk, yang baginya mengganggu ketauhidan kaum muslimin. Kiai muda itu juga menguraikan dampak kerjapaksa romusha terhadap rakyat Indonesia.

Namun, melihat minat beberapa penumpang menyimak obrolannya, Kiai Wahid lekas mengalihkan tema pembicaraan. Maklum, jika intel Jepang ikut menguping pembicaraan ini, bisa berbahaya bagi dirinya dan lawan bicaranya.

"Nahdlatul Ulama, apa benar ini organisasi kaum tua?" Ali mulai penasaran saat Kiai Wahid menyebut kata En U. "Tidak, saudaraku. Ini organisasi yang siapapun boleh masuk ke dalamnya. Kalau ini organisasi kaum tua yang kolot, tentu tidak akan mengangkat sosok Kiai Haji Mahfudz Siddiq sebagai presiden Hoofdbestuur-nya..."

"Hmmammm. Tapi pengurusnya kan didominasi kaum tua?" "Benar, saudaraku, kaum tua di sini adalah para ulama yang membimbing kami. Menasehati kalau kami, yang muda-muda ini melenceng jalur. Tapi para muharrik (penggerak)-nya tetap kaum muda, termasuk saya ini, saudaraku."

"Bapak, eh, mas, sekarang berap usianya?" "Usia saya? Dua puluh sembilan tahun, sekali lagi dua puluh sembilan tahun. Tak berbeda dengan saudara presiden Hoofdbestuur NU, Kiai Mahfudz Siddiq, yang berusia 37 tahun."

Ali mulai menata posisi duduknya. "Ente tahu, Mas Ali, Kiai Mahfudz terpilih menjadi presiden NU di saat berusia 31 tahun. Kalau ada kesempatan Mas Ali bisa mampir ke kantor kami di kawasan Bubutan."

Ali, wirausahawan muda itu semakin dalam berdiskusi dengan lawan bicaranya. Kiai Wahid, putra Hadratus syekh Hasyim Asy'ari itu, semakin memperluas cakupan diskusinya. Tapi, kiai muda berwawasan luas tersebut lebih hati-hati menyinggung obrolan perihal pemerintah pendudukan Jepang. Beliau sadar, banyak teliksandi Kenpeitai yang berkeliaran di kereta. Karena itu, beliau lebih banyak memberi tahu seluk beluk NU dan organisasi pemudanya, Ansor.

Turun dari kereta, Kiai Wahid memeluk Ali, sembari mempersilah-kannya agar berkunjung ke kantor PBNU di Bubutan, Surabaya.

Selang beberapa hari kemudian, Ali mendatangi kantor PBNU. Kali ini dia menyampaikan keinginannya untuk ikut berkhidmah di jamiyyah ini. Dia diterima dengan tangan terbuka. Beberapa tahun kemudian, pemuda ini menjadi salah satu ketua seksi ekonomi PBNU, dan juga kepala divisi keuangan GP Ansor.

Sebuah pembicaraan singkat, di dalam gerbong penuh sesak rupanya telah membuat Ali terpesona dengan kepribadian Kiai Wahid, dan oleh karena itu dia bersedia masuk menjadi anggota NU. Sebuah kaderisasi singkat dan efektif dari seorang kiai muda.

Cerita rekrutmen kader NU di atas kereta api ini dikisahkan oleh H. Abubakar Atjeh dalam "Sedjarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar", halaman 173, dengan dramatisasi yang saya olah sebagaimana dialog di atas.

Ketika Kiai Wahid menjabat sebagai Menteri Agama, beliau berkeinginan agar Depag memiliki mesin cetak berkapasitas besar untuk mencetak mushaf al-Qur'an dan kitab-kitab ulama salaf. Untuk kepentingan nasional ini, Kiai Wahid mengandalkan Ali bin Faradj Martak, pemuda yang dia kader di atas kereta api, dan Abdul Hamid Ono, muslim Jepang yang menjadi sahabat karibnya sejak sebelum pendudukan Jepang.

Namun sayang, cita-cita Kiai Wahid agar Depag punya percetakan sendiri gagal. Penyebabnya karena izin kerjasama Depag dengan N.V. Marba--perusahaan milik keluarga Ali-- terlalu singkat dan Perang Korea sedang berkecamuk yang menyebabkan naiknya biaya transportasi dan resiko perdagangan yang meningkat.

Salah satu fakta yang menarik di sini adalah ternyata Ali merupakan putra kandung Faradj bin Said Awad Martak, President Direktur N.V. Alegemeene Import-Export en Handel Marba. Pengusaha Arab kelahiran Hadramaut inilah yang membeli sebuah rumah di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, yang diberikan kepada Bung Karno dan kemudian digunakan sebagai tempat memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Wallahu A'lam

Penulis: Gus Rijal Mumajiq Z


0 komentar

Post a Comment