Wednesday, February 22

CERPEN: Pengangguran




Oleh: Hendijo

Tuhan telah mati... (Friedrich Wilhelm Nietzsche) "Tuhan tidak mati...Ia cuma menganggur... (Soe Hok Gie)

TIBA-TIBA saja tanganku bergetar ketika mengangkat secangkir kopi yang hampir tandas. Mataku berat. Rasa kantuk menderaku seperti efek obat bius yang pernah ditanamkan oleh seorang dokter saat dulu aku dioperasie usus buntu. Di atas meja komputer, lembaran kertas ketikan artikel yang isinya kadang tak jelas juntrungannya bertebaran. Terkadang aku merasa benda-benda itu hidup dan dalam nada geli menertawakanku,seolah aku ini pemain Srimulat yang tengah berperan sebagai seorang pandir yang berlagak bak cerdik cendekia.

Bagaimana bisa akau terjebak dalam rutinitas memuakan selama hampir 8 bulan ini? Hampir aku percaya, selepas gelar sarjana politik disahkan oleh rektorku beberapa bulan yang lalu, aku merasa hidup tak lebih kebegoan demi kebegoan yang kadang harus kujalani secara iklas.

Aku bukan orang yang cerdas. Tapi juga rasanya tidak bodoh-bodoh amat. Teman-temanku bahkan selalu "menghibur" bahwa aku adalah orang yang sangat asyik kalau diajak diskusi soal-soal filsafat, politik, sastra, psikologi, sosiologi dan sejarah(hahha mereka tidak tahu aku cuma mengutip pendapat orang). Apalagi kata mereka aku memiliki status mulia sebagai mantan aktivis 98. Bah aktivis 98 ! Apa itu?!!! Otakku kadang selalu nyinyir kalau mengingat masa-masa penuh kebodohan itu; bergerak serasa Pahlawan di jalanan namun diam-diam menjadi pion politisi dan Jendral-jendral serakah...

Sebentar lagi mungkin aku harus keluar. Selama di Jakarta 2 hari ini aku menginap di rumah Bejo, berusaha melupakan semuanya; rasa capekku, rasa ketidak-pastian sekaligus rasa maluku yang tentunya sadar tak sadar sudah merepotkan seluruh keluarga Bejo. Jujur saja hidup nomaden kadang memang tidak enak, tiap pagi selalu dituntut untuk berpikir kemana lagi kaki harus melangkah selanjutnya dan berapa ongkos kendaraan yang harus dihabiskan. Dasar sarjana kere!

Betul aku bisa menulis, tapi sejauh mana aku yakin bisa mengandalkan keahlianku yang standar ini? Hidup di Jakarta menjadi seorang penulis pemula tak lebih bagus dengan menjadi seorang pemulung sampah di Bantargebang. Terlebih dengan status "penulis tak dikenal" dan kapasitas keilmuan yang menggelikan seperti ini, sudah bisa di pastikan artikel-artikel yang tanpa pantang menyerah kukirim ke media-media besar kini mungkin sedang menangis terkaing-kaing di keranjang sampah para editor.

Sudah hampir jam 9. Jika Bejo pagi ini sudah jelas akan pergi kuliah pasca sarjananya di UI, tidaklah demikian dengan aku. Lantas aku mau apa? Ke Gramedia, jelas aku tidak punya duit. Ke TIM, terlalu rumit dan jauh. Oh ya bagaimana kalau kembali lagi ke rumah Iwan ? Tapi...Apa tidak malu ya sama istrinya ?

Aku bisa membayangkan saat pagi seperti ini, Iwan dan istrinya akan meninggalkanku. Kemana lagi kalau tidak pergi ke kantornya masing-masing. Sedangkan aku? Cukup kembali melongo di depan komputer dengan sedikit rasa lega pada ucapan Iwan dan istrinya yang menyuruhku agar jangan sungkan kalau mau makan dan ngopi...Sepasang teman yang baik tapi jelas membuat posisi sosialku semakin terpuruk. Huh!

Aku mengambil lagi sebatang rokok sekaligus menyalakannya. Ya siapa lagi kalau rokok itu bukan rokok punya Bejo? Selain tak mampu beli, aku ini sebenarnya bukanlah seorang perokok. Tapi entah kenapa kalau berada di rumah Bejo, seolah ada suara iblis-- yang sepertinya memiliki tugas khusus mengeluarkan manusia dari nikmatnya alam sehat-- membisikku untuk menjadi seorang perokok berat seperti halnya Bejo.

Tapi merokok itu nikmat juga ya? Apa karena sejenak bisa berlaku layaknya seorang laki-laki dewasa yang penuh optimisme menghadapi hidup yang indah ini? Nah, kata-kata itu sepertinya sudah cukup bagus untuk menjadikanku seorang marketing kacangan dari sebuah industri rokok lokal he..he..he (Kapan lagi aku bisa tertawa? )

Huaaaaahhhhh!Aku mengeliat resah. Aku ngantuk sekali, Tuhan...(Kenapa untuk urusan sekecil ini, Tuhan harus dibawa-bawa? Aneh!). Sudah delapan jam sejak jam 3 subuh tadi aku terbengong-bengong di depan komputer. Wow! Tentu saja dengan segala kekonyolan dan keterpurukan analisa-analisa yang menurut Berita, teman Postmo-ku yang rada-rada gila, kering dan hanya mengandalkan kepopuleran Marx, Weber, Chomsky dan...Kadang-kadang Tuhan Allah. Ah dasar si curang yang sok, apa dia pikir si Derida dan manusia-manusia Frankfurt yang sering dinukil dalam beberapa tulisannya itu adalah para petani Gunung Kidul yang tak dikenal ?

Resah...Resah...Resah. Rokok dimulutku hampir sudah tamat riwayatnya. Sebagian sisa-sisa abunya bertebaran di celana jeans belel-ku. Kalau saja aku bisa melihat anatomi otakku, mungkin saat ini isinya dipenuhi kabut hitam yang dihuni oleh para genderuwo dan hantu-hantu gembel yang tidak mampu menempati istana nyaman alam gaib. Bisa jadi.

Mungkin bagi mereka, otakku ini ibarat kolong-kolong jembatan atau lorong-lorong kumuh. Persis suasana yang pernah aku rasakan saat lagi jadi mahasiswa dulu menjadi advokator anak-anak jalanan dan para gembel yang terkena ancaman penggusuran pemerintah DKI.

Aduh! Tapi apa iya otakku seperti kampung gembel yang sama sekali tidak memiliki fungsi estetis bagi ruang tata kota? Lalu bagaimana dengan sang Gubernur mereka ? Tinggal dimanakah si mahluk terhormat ini? Maksudku di otak manusia seperti apa? Gila! Mengurus otaku saja aku sudah tak berdaya apalagi harus mengurusi otak orang lain? Atau jangan-jangan saat ini aku tengah mengarah kepada ganguan psikologis tingkat awal?

Tit..tit..tit...Tiba-tiba hp-ku berbunyi genit (pengangguran tapi punya hp, salah satu ciri khas sosial sebuah negara dunia ketiga yang marak praktek korupsinya). SMS. Dari siapa pula ini? Tanpa nomor, tanpa identitas...SAYA TUNGGU KAMU DI LUAR!!!. Reseh banget sih orang ini...Kenapa ngga masuk aja langsung kesini. Jangan-jangan keisengan teman-teman kuliahku dulu yang kebetulan mau menemui Bejo dan tahu kehadiranku dari pembantunya Bejo....

Tertatih-tatih aku keluar rumah. Tak ada siapa-siapa. Sepi. Cuma suara angin sepoi-sepoi yang membuatku semakin ngantuk aja. Lama aku berdiri di pintu depan, mencoba berpikir keras siapa gerangan mahluk yang rada-rada kurang ajar ini.

Tit..tit..tit..tit. Hp-ku kembali bunyi. SMS lagi. SAYA ADA DI ARAH JAM SEMBILAN DARI KAMU. Secepat kilat mataku menyambar ke arah pohon Rambutan disebelah kiriku....Astaga!!! Sudah ikut gilakah penglihatanku ???

Tepat dibawah pohon Rambutan yang lumayan besar, sesosok tubuh mengerikan berdiri tegap. Mukanya yang bopeng dan penuh darah campur nanah menyeringai , kayaknya sih mencoba tersenyum ramah padaku.

Tapi? Kok pakaiannya itu lho? Kok mirip seragam tentara pembebasan rakyat negara-negara komunis...dril kuning. Topinya itu kok mirip topi polisi ya? Cuma agak lebih hitam dan simbolnya berbeda. Siapa gerangan mahluk ini ? Tuhan (Lagi-lagi Tuhan secara basa-basi dibawa-bawa).

“Si...Si..Sia..Siapa Anda???!!!“ Tanyaku lirih dan agak tergagap-gagap. Hihhhh... Mahluk itu kembali menyeringai. Dia melambaikan tanggannya yang berbulu lebat dan anehnya aku seperti besi yang ditarik magnet, perlahan mendekatinya....

"Jangan takut, anak muda...Saya adalah petugas pamongpraja Kegubernuran daerah genderuwo dan hantu sekitar sini.” ”Hah genderuwo??? Hah hantu ??? Ternyata mereka ada ya? Sejenak aku seperti linglung... Pe..tu...gas... Ke..gu.. bernur..an...??? Tidak sa....

“Tidak salah anak muda, seperti kalian kami juga punya wilayah” Katanya nyata sekali nadanya sedikit angkuh. Lalu apa hubungan denganku?

“Kami ke sini hanya ingin memberitahu kamu” Lagi-lagi dia tahu isi pikiranku. Informasi apa yang aku akan dapat dari genderuwo mengerikan ini???

“Bahwa besok akan ada penggusuran.....”

“Maksud Anda???” Memberanikan diri aku mencoba bertanya lirih. Sebegitu lirihnya sehingga kupingku saja hampir tidak mendengar.

"Ya..Besok akan ada penggusuran kampung kumuh genderuwo karena setelah diperiksa, kampung itu adalah milik negara dan disana kelak akan dibangun sebagai kawasan industri genderuwo” Panjang lebar dia menerangkan. Tapi aku tetap tidak mengerti.

“Apa hubungannya denganku???

“Tentu saja berhubungan denganmu!”

“Apanya???!!

“Karena kampung gembel itu ada ada dalam struktur otakmu, tahu?!!!”

Aku tak ingat lagi rumah Bejo.Semuanya serba gelap. Samar-samar masih kudengar suara tawa mengerikan petugas pamongpraja genderuwo itu. Oh, jadi memang benar struktur otakku memang kumuh???? Tuhan!!! Sumpah, kali ini aku serius menyebut namaMu.....
(hendijo)


0 komentar

Post a Comment