Saturday, February 18

Mak, Aku Ingin Menyusulmu ke Akherat


Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti.

Nenek tua itu, akhirnya bertemu yang maha Sunyi di umur 101 tahun. Anaknya yang juga telah berusia, 65 tahun, dia tinggalkan tanpa pamit terlebih dahulu. Bukan tak ingin dia abadi, menemani buah hatinya menyusuri hari, tapi tuhan telah amat kengen padanya. Yang Maha Agung sudah tak sabar untuk memeluknya.

Ketika Malaikat maut bertemu untuk menarik nyawa, sepertinya nenek itu protes. Jika dirinya diambil, siapa yang akan mengurus anaknya? Dia telah cacat dari semenjak kecil, tak bisa berjalan, tak mampu melakukan apa-apa tanpa bantuannya. Tapi Tuhan benar-benar sudah tak sabar untuk segera menemuinya, untuk mengganti kasih sayang dan kesetiaannya dengan sorga.

Aku memang tak tahu siapa nenek ini. Beberapa bulan lalu aku hanya melihat dari sebuah postingan, ada seorang nenek mengurus anaknya yang cacat berumur 65 tahun. Melihat postingan itu, aku mendapat bukti, hubungan ibu dan anak adalah tali gaib yang tak mungkin raib. Tak peduli anaknya sakit, merepotkan, tapi darah daging tetaplah darah daging, amanat tetaplah amanat, cinta tetaplah cinta, harus di jaga, harus di pelihara, titik!

Selang beberapa minggu kemudian, betapa kagetnya aku melihat sebuah posting, jika nenek ini telah menyatu lagi dengan-Nya. Wafat. Saat aku menulis catatan ini, tanganku tak henti-hentinya bergetar, tangisku yang ingin meledak terus kutahan, karena aku membayangkan, di depan tubuhnya yang sudah kaku, anaknya yang dia tinggal mati merintih pedih:
Mak, apa kau bosan mengurusku? Kenapa kau pergi secepat ini? Aku tahu, aku hanya bisa merepotkanmu, hanya bisa menyusahkanmu, tapi kau tak pernah putus asa melumuriku cinta."


Mak, dari aku kecil, sampai sekarang berumur 65 tahun, kau lah yang memandikan tubuhku, membersihkan kotoran-kotoranku, menutupi tubuhku dengan pakaian, menyuapiku, memberiku minum, semua keperluanku, seolah aku adalah jimat paling keramat dalam getar hidupmu."


Mak, kini nafasmu telah berhenti, darahmu tak lagi mengalir, denyutmu tak lagi berdetak, mati, lalu aku bisa apa? Siapa yang akan menerimaku setelah kepergianmu, Mak? Siapa yang akan memberiku makan, menidurkanku, memapahku berjalan, memandikanku, dan membersihkan kotoranku? Jangankan mengurusku, melihat keadaanku saja, siapapun bergidik ngeri."


Mak, enam puluh lima tahun, enam puluh lima tahun, kau tak berhenti memberi dan akan terus menerima. Kau bahkan pernah berdo'a, ingin terus hidup bersamaku, anakmu yang cacat ini, yang tak bisa apa-apa selain senyum dan bernafas. Cinta macam apa yang kau tunjukan padaku, Mak? Cinta macam apa? Dan sekarang kau malah pergi, tanpa memberi kesempatan padaku untuk menyicil hutang cinta itu."


Mak, aku ingin menyusulmu saja ke akhirat, karena dunia yang tanpa kamu, pasti seperti siksa. Akan kususuri setiap lekuk negeri Abadi itu, mencarimu, sampai ketemu. Lalu di hadapanmu, aku akan berdo'a sambil tertunduk, 'Semoga Alloh meridhoi ridhomu.'..."
Aamiin.

Semoga tulisan ini menjadi inspirasi buat kita untuk selalu mencintai orang tua kita. Alfaatihah.

(Baca juga: Sekali Sajah Ibu Aku Ingin Membasuh Kakimu)


0 komentar

Post a Comment